Analisis Kasus Injustis dalam Novel "The Stoning of Soraya M."

The Stoning of Soraya M. - Freidoune Sahebjam (1994/160 Halaman) Richard Seaver (Translator)

Setiap halaman dalam membaca buku ini saya merasa ada yang mengganjal, mengoyak nurani, humor terhadap realita  dan memaksa saya untuk merenungkan makna terdalam dari kemanusiaan itu sendiri.

"The Stoning of Soraya M.," sebuah karya yang ditulis oleh Freidoune Sahebjam. Sebuah kisah dari desa terpencil di Iran, menceritakan kisah tragis seorang perempuan bernama Soraya Manutchehri. Terdapat berbagai lapisan dan kompleksitas dari tragedi yang menimpa Soraya. Buku yang sangat brutal namun jujur mengungkap bagaimana relasi kuasa yang timpang, otoritas agama yang disalahgunakan, kerapuhan maskulinitas, serta kekolotan masyarakat dapat menjadi bencana bagi Soraya. Lebih jauh, saya menelaah bagaimana dinamika ini tidak hanya mencerminkan kondisi sosial-politik di tingkat lokal, tetapi juga menawarkan perspektif krusial dalam memahami isu-isu global seperti hak asasi manusia, keadilan gender, dan peran otoritas dalam masyarakat kontemporer. Jika dalam iman kristiani, kisah pada buku ini mungkin akan lebih tragis daripada bacaan injil Yohanes 8 : 1 - 11 tetapi secara tidak langsung membantu saya dalam memahami bagaimana "Hukuman rajam" pada masa Yesus dengan kondisi tidam jauh berbeda yang bahkan tidak terpaut 1 abad pasca saya lahir.

1. Dinamika Kekuasaan Pribadi.

Terdapat 2 tokoh yang sangat signifikan, pertama Ghorban-Ali, suami Soraya, bermaksud menikahi wanita lain tanpa harus menanggung biaya perceraian. Ia memanfaatkan posisinya sebagai kepala keluarga untuk menuduh Soraya tidak setia. Hukuman rajam dipandang sebagai jalan keluar yang paling efisien, karena memungkinkan Ghorban-Ali untuk mempertahankan kehormatannya dan mendapatkan apa yang ia inginkan.

2. Otoritas Agama dan Peran Pemimpin Komunitas

Otoritas agama, yang diwakili oleh Sheik Hassan. Ia menggunakan jubahnya sebagai alat kekuasaan dan memanipulasi ajaran agama. Mullah tersebut dengan mudah meyakinkan penduduk desa pasca Revolusi Iran dan melegitimasi kekuasaan yang tidak terbatas dari Tuhan. Kepala desa Machdi Ebrahim juga memainkan peran penting, melalui otoritas politik lokal yang disertakan dengan "Kekuasaan yang tidak terbatas" dalam naungan "Allah" yang korup atau mudah dipengaruhi dapat menjadi alat yang ampuh bagi kekuasaan yang disalahgunakan.

3. Sistem Hukum yang Cacat dan masyarakst yang kurang teredukasi

Masyarakat desa Kupayeh, yang digambarkan sebagai masyarakat terpencil dan konservatif, menjadi alat pasif dalam tragedi ini. Mereka dengan mudah diprovokasi dan digerakkan oleh rumor dan emosi. Hukuman rajam dianggap sebagai "pembersihan" kolektif yang mengembalikan kehormatan desa. Keterbelakangan pendidikan dan pembangunan di desa-desa seperti Kupayeh membuat penduduknya rentan terhadap manipulasi.

​Sistem hukum yang berlaku di desa tersebut sangat cacat. Soraya tidak diberikan kesempatan untuk membela diri. Hukum yang diinterpretasikan oleh Sheik Hassan menyatakan bahwa seorang istri yang dituduh harus membuktikan ketidakbersalahannya, sementara tuduhan dari suami sudah cukup untuk memvonisnya. Ini menciptakan ketidakadilan yang luar biasa dan menunjukkan bagaimana hukum dapat disalahgunakan untuk mengendalikan perempuan.

4. Aspirasi yang tidak didengar

Zahra Khanum adalah satu-satunya suara perlawanan yang signifikan. Ia berusaha keras untuk melindungi Soraya dan menantang ketidakadilan. Namun, ia pada akhirnya harus menerima kekalahan karena otoritas laki-laki dan kekerasan massa yang tak terhentikan. 

5. Relevansi Kontemporer dalam Hubungan Internasional (HI)

Tragedi Soraya M. dapat dianalisis melalui beberapa pendekatan HI:

  • Pendekatan Hak Asasi Manusia (HAM): Kasus ini adalah pelanggaran berat terhadap hukum internasional dan konvensi HAM yang melarang perlakuan kejam dan tidak manusiawi.

  • Pendekatan Feminisme: Soraya adalah korban dari sistem kekuasaan patriarkal di mana tubuh dan kehormatan perempuan dikontrol secara politik oleh laki-laki.
  • Pendekatan Konstruktivisme: Tragedi ini menunjukkan bagaimana norma dan identitas sosial yang dihidupkan kembali setelah revolusi digunakan untuk menjustifikasi kekerasan.

Kesimpulan

Kemungkinan ketika selesai membaca buku ini, para pembaca lainnya yang pernah membaca Injil Yohanes 8 : 1-11 akan melihat bagaimana rajam yang dilakukan kala itu bisa jadi sebuah relasi politis demi memperbaiki nama baik seseorang. Secara tidak langsung kita mendapatkan gambaran keras ​melalui "The Stoning of Soraya M.", ulasan ini bertujuan untuk tidak hanya memahami apa yang terjadi pada Soraya, tetapi juga landasan sosial mengapa hal ini mungkin dan "masih" bisa terjadi di zaman sekarang. Terdapat berbagai lampu kuning mengenai kekuasaan pribadi, penyalahgunaan agama, masyarakat yang kolot, dan sistem hukum yang cacat.

Ini bukan hanya sebuah cerita, melainkan tentang bagaimana ketidakadilan dan kekerasan bisa muncul dan bertahan dalam masyarakat yang memiliki keterbatasan.